Langsung ke konten utama

[CREATE IT] DUA-PULUH-TUJUH (ONESHOT)


بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Cerita ini hanya karangan dan fiktif belaka
Semua berasal dari khayalan semata
Jika ada kesamaan nama, tokoh, dan semacamnya
Mungkin itu sudah menjadi kehendak semesta
Selamat membaca dan semoga suka


DUA-PULUH-TUJUH
Author: AstiNH



“Jam berapa sekarang?”
            David melirik sekilas smart phone yang tergeletak manis di samping lengannya. Angka yang memantul di sana berhasil membuat ekspresinya berubah memasam.
            “Kamu dengar aku kan, Dave?”
            Ah, haruskah ia membuat syukuran besar-besaran karena Tuhan telah berpihak padanya atas takdir satu hari yang hanya memiliki waktu 24 jam? Ia benar-benar sudah sangat muak dengan angka ketiga setelah dua puluh empat itu. Dengan malas David menunjukkan layar ponsel yang menyala pada gadis di hadapannya.  “Radar.”
            Gadis itu sukses melongo. Wajah salah tingkahnya memperhatikan David yang kini kembali menekuni laptopnya. Bibirnya yang dipoles warna merah muda bergerak tak kentara, tampak menimbang-nimbang kalimat yang akan diucapkannya, “Itu....”
            David mengangkat bahu tak peduli. Ia menutup laptopnya lalu beranjak dari kursi seraya berkata, “Aku sudah melakukan reservasi di restoran kesukaanmu.”
            Gadis itu masih bertahan di posisinya, mengikuti gerakan sosok jangkung itu dengan mata cokelatnya. Bukannya mengikuti David yang sudah sampai di ambang pintu, ia malah menunduk mengikuti liukkan jemarinya yang terhampar di meja kerja David.
“Barusan kamu lihat kan, jam dua belas lebih dua puluh tujuh menit. Sudah saatnya makan siang.” David menghela napas panjang saat melihat gadis mungil itu melalui bahunya. “Sekarang jam dua belas lebih tiga puluh menit. Ah, bahkan menit pun tahu kapan saatnya untuk pindah.” Tandas David dengan nada sarkastis.
            “Aku minta maaf Dave.”
            David seketika menoleh dengan tangan yang menggantung di hendel pintu. Amarah yang sempat menyeruak seketika diredam oleh seraut wajah cantik dengan mata cokelat milik Citra. Demi apa pun, David selalu merutuki kenyataan itu. “Kamu pasti lapar, kan?”
            Citra mengangguk-angguk dengan bola mata yang membulat. Gadis itu meraih tote bag-nya dan berlari kecil menghampiri David. Sialnya, David tak mampu menahan senyum geli yang lantas terbit melihat tingkah Citra yang begitu menggemaskan.
Mereka berdua menyusuri lorong yang di kiri-kanannya terdapat pintu-pintu tertutup. Tawa David dan Citra bergantian merayapi setiap inchi dinding berwallpaper cerah itu. Melupakan topik basi yang telah bertahun-tahun menjadi toksin dalam hubungan mereka. Setidaknya, untuk saat ini mereka ingin menutup mata. Ah, bukankah sudah berlangsung dari dulu sekali? Kalau begitu, sampai kapan mereka akan dan harus menutup mata?
Tak ada yang berani membuka pembicaraan serius tentang hal itu karena ketakutan serupa sama-sama mengendap dalam benak mereka. Tak pernah tertulis dalam catatan David untuk menggores sebersit luka di hati Citra, apalagi jika harus mengungkit dua angka keparat itu. Lalu bagaimana dengan Citra? Jika ketakutannya seperti yang dirasakan David, jika ia tak pernah membagi cerita tentang radar kesayangannya itu karena takut melukai David, berarti sudah saatnya ia menutup buku usang itu.
Ah, sebenarnya siapakah yang diperlakukan tidak adil di sini?
            David memarkirkan jazz hitamnya tepat di depan sebuah bangunan bergaya art deco. Dominasi warna cokelat dan aroma kayu yang menguar dari setiap ornamen membuatnya terasa begitu alami. Pantas saja Citra sangat menyukai rumah makan itu.
“Bagaimana hasil kunjunganmu ke percetakan tadi?” David membuka obrolan serius begitu menempati meja yang ditunjukkan seorang pelayan. Kening David mengernyit saat Citra tahu-tahu mengeluarkan salah satu novel Paulo Chelho dari dalam tote bag-nya. David mengerjap ketika Citra mengeluarkan sebuah buku lagi dan mengambil banyak kertas yang terselip di sana. Dan sorot tajamnya menyalang hebat begitu gadis berambut sebahu itu menyodorkan beberapa helai kertas padanya.
“Semua poin pentingnya aku catat di sini. Aku pastikan laporannya selesai nanti sore.” Citra masih terus menjelaskan tanpa memandang David. Setelah selesai dengan berkas-berkasnya yang kini terbungkus manis di dalam buku, ia beralih pada David. “Oooh, ini novel Paulo Chelho yang proyek translatenya kemarin kamu kasih ke aku. Dan ini naskah salah satu penulis baru yang juga harus aku pelajari.” Citra menjelaskan tanpa diminta begitu menyadari mata David yang tertanam begitu kuat pada dua buku miliknya.
          Terdengar dengusan kasar sebelum kemudian David berkata, “Data-data sepenting ini kamu selipkan di buku? Bahkan uang pun kamu simpan di sana? Ini bukan berarti kamu tidak punya tempat lain yang lebih terjamin keamanannya, kan?” David melahap wajah di hadapannya dengan banyak emosi yang bertumpuk di dada.
            Mengerti arah pembicaraan David, serta-merta Citra tertunduk di tempatnya. Seperti sebelumnya dan sebelumnya yang sudah terjadi berkali-kali, ia akan membiarkan David menumpahkan amarahnya sampai titik penghabisan. Bukan –bukan berarti Citra adalah gadis lemah yang bisa dibentak seenaknya. Tapi memang hanya senjata diamlah yang bisa diandalkannya untuk meredam topik ini. Menunggu urat-urat yang menegang di wajah oval David mengendur hingga lelaki itu kembali pada sifat lembutnya.
            “Lihat aku, Cit.”
            Perlahan Citra mengangkat kepala, saat itu juga manik cokelatnya berserobok dengan mata tajam David yang sedang menatapnya. Tatapan yang benar-benar mengunci hingga membuat Citra tak bisa beringsut satu derajat pun. Mulut Citra kini sudah setengah terbuka, berusaha mengumpulkan kata yang harus terdengar tepat dan masuk akal. “Maaf.” Meski telah mengerahkan seluruh tenaganya, tetap saja pernyataan sialan itu yang meluncur dengan lihai dari bibir tipisnya.
            David mendengus bersama alis tebalnya yang beradu. Telinganya pekak mendengar alasan yang selalu didengarnya selama bertahun-tahun. Ah tidak, hari ini ia bahkan sudah mendengarnya kurang dari satu jam yang lalu. Masih dengan pandangan yang seolah melubangi mata cokelat Citra, ia meraih novel Paulo Chelho yang tampak semakin tebal dengan kertas-kertas yang terselip di sana.
            Pundak Citra meluruh, berpikir David akan membicarakan novel salah satu penulis favoritnya itu dan suasana tegang akan bergulir dengan tenang, seperti yang sudah-sudah. Namun satu gerakan dari tangan David mematahkan perkiraannya kali ini.
            Perlahan namun pasti, David membuka lembar demi lembar dan berhenti di halaman terkutuk yang membuat tensi darahnya semakin menggelegak.
            “Kamu mau ngapain Dave?” Sergah Citra cepat saat David mulai mencengkeramkan jemarinya di pangkal kertas. Tangannya refleks berusaha merebut buku itu dari genggaman David namun lelaki itu jelas lebih gesit darinya. “Dave, kamu---“
            “Halaman nggak berhenti di angka dua-puluh-tujuh, Cit!”
            Kalimat itu menendang hatinya dengan sangat keras hingga jatuh berdebam di lantai. Citra menutup wajah dengan kedua tangan yang ditumpu di atas meja. Menyembunyikan bulir bening yang satu per satu menyeruak dari kelopaknya. Tubuhnya mulai berguncang saat gambar abu-abu membayang di ingatannya.
            Sial! Jantung David mencelos melihat pemandangan itu. Setengah mati ia memaku diri agar tak beranjak untuk menenangkan tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Namun, saat matanya beralih ke sudut kanan bawah buku di tangannya, ia langsung memberangus seutas kertas itu tanpa ampun. Menghancurkan dua angka terkutuk yang tercetak di sana, dan berharap radar tak masuk akal itu turut enyah dari memori Citra.
            Aksi David membuat Citra terkesiap luar biasa. Mata nanarnya mengarah pada David, lalu pada buku impornya yang malang, setelah itu beralih pada secarik kertas yang telah dirobek David menjadi partikel-partikel kecil. Gadis itu menggigit bibir, menahan napas yang tiap helaannya terasa begitu menyembilu.
            Beberapa pasang mata mulai tertuju ke arah mereka. Namun baik David mau pun Citra, keduanya sama-sama tak peduli.
            “Apa pun di balik radar dua-puluh-tujuh keparat itu, persetan!” David menyeringai tanpa berani menatap seraut wajah yang malah akan membungkam ledakannya. “Banyak buku sudah kamu terjemahkan, kapan kamu bisa menerjemahkan kehadiranku? Ratusan kisah cinta sudah kamu ciptakan, kapan kamu mau menciptakannya denganku?”
            Serentet kalimat itu bagai hujanan kerikil yang menimpa ubun-ubunnya. Citra semakin membatu di posisinya, seolah bergerak adalah keputusan terbesar yang akan mengubah jalan hidupnya. Lewat ekor matanya ia menangkap David tengah merapikan dasi dan lengan kemeja, namun kontan ia mendongak begitu lelaki itu bangkit dengan tak sabar dari kursinya.
            David tak langsung melangkah, sebentar ia menekuri ponsel hitamnya, melesakkannya ke dalam saku celana, lalu beralih pada Citra. Tanpa bersuara ia mengusap wajah cantik yang sembab itu dengan sorot tajamnya. “Kita nggak bisa balik bareng. Hati-hati di jalan.” Detik berikutnya David mengumpat diri habis-habisan karena telah membiarkan kedua sudut bibirnya terangkat di ujung kalimat. Ia menarik rompi yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas sebelum  desakan dalam hatinya semakin menguat.
            Citra terenyak di kursi. Menyaksikan hatinya yang tadi jatuh telah bertransformasi menjadi kepingan-kepingan yang berserakan di lantai. Benaknya serentak memutar setiap momen yang dilaluinya bersama David. Ia menyesap jus yang sama sekali belum disentuhnya lalu mendesah lelah. Tiga tahun bersama, tapi baru hari ini ia melihat David meledak tak terkendali. Tiga tahun bersama, dan baru kali ini David bertolak memunggunginya.
***
Perlahan matahari mulai merayap menyapukan rona cerah ke sekujur tubuh langit. Namun sinar indah itu seakan enggan untuk singgah di wajah oval David yang luar biasa muram. Ironi. Rongga kepalanya dipenuhi sikap konyolnya beberapa hari lalu. Bodoh! Kenapa ia tak bisa mengendalikan emosi seperti biasanya? Sekarang Citra pasti membencinya setengah mati. Tapi tidak! Setelah tiga tahun membuatnya merasa tak terdefinisi, gadis itu memang perlu diberi pelajaran. Tapi, bagaimana kalau kesabaran yang telah dipupuknya selama tiga tahun harus pupus karena tangan tak beradabnya? Sial! Beragam emosi benar-benar menumpuk memenati benaknya.
            David membanting pintu mobil dengan sekuat tenaga. Dengan tak sabar ia melangkah dan memencet tombol lift. Suara pintu lift terbuka seakan memukul jantungnya dengan sangat keras. Sosok di balik blus selutut berwarna cokelat dan outwear berwarna senada dari bahan rajut membuat tubuhnya mematung seketika. Sekilas David menangkap perbedaan yang kentara dari penampilan Citra, namun ia tak berani menelitinya.
            “Hai Dave.”
            Jantungnya sukses menghantam lantai begitu mata cokelat yang tersenyum itu menerpa pandangannya. Dan Tuhan, jangan salahkan David kalau sekarang ia memilih untuk mereguk pesona itu, setidaknya sampai suara Citra memecah lamunannya.
            “Kamu nggak jadi masuk, Dave?”
            David melongo sesaat lalu melesat ke dalam lift.
           Hening menguap di sana. Tak ada yang bersuara, apalagi membuka percakapan. Namun David menikmatinya. Kegelisahan yang berhari-hari mendesak dari dalam tubuhnya seolah enyah tanpa sisa. Dan sialnya ia sadar kalau gadis di sampingnya yang telah berhasil mengoyak perasaannya.
            “Semarah itu kamu sama aku?”
            David terperanjat. Ia melirik sekilas ke arah Citra tanpa mengucap sepatah kata.
            “Seminggu ini kamu menghindariku.”
            “Kamu juga.”
            “Itu karena kamu---“
            Lift tiba-tiba berhenti memutus percakapan. Salah satu dari beberapa orang yang melangkah masuk lantas dengan seenaknya berdiri menengahi David dan Citra.
          “Tuh kan Cit. Lo kayaknya sakit deh. Seminggu ini lo kelihatan kuyu banget. Harusnya lo istirahat di rumah.”
            Suara cempreng itu berhasil menarik kepala David untuk menoleh. Dari samping ia dapat menangkap wajah Citra yang memang tampak pucat, pantas saja ia sempat merasakan perbedaan saat melihatnya tadi.
            “Gue nggak apa-apa, Dy.”
            David mendengus mendengarnya. Ms. Fake Smile, batinnya dalam hati.
            “Jangan-jangan lo lagi ada masalah sama...David, lo yang bikin Citra sakit kayak gini, kan?” Gadis berambut ikal itu kini membawa tatapan pada David yang berdiri di samping kirinya.
            David terkejut bukan main saat dengan entengnya Indy menghujat dirinya di depan banyak orang. David menunduk sejenak untuk menyembunyikan wajah putihnya yang memanas, dan ia berani bertaruh, warna kepiting rebus pasti sudah mendarat dengan cantiknya di sana. Gila si Indy ini! Jangan salahkan David kalau nanti ia tak memberinya proyek naskah! Lelaki itu baru hendak mengucap sesuatu ketika di saat yang sama, lagi-lagi mulut lift menjeblak lebar. Dan ia lebih memilih melipir cepat dari beberapa pasang mata yang tertuju padanya.
            Citra dan Indy turut keluar di lantai yang sama. Citra memandang sahabatnya dengan kening yang bergulung-gulung. Terdengar helaan napas pendek sebelum kemudian ia berkata gemas, “Lo apa-apaan sih, Dy? Aduh parah lo.”
            “Jadi bener kan perkiraan gue? Pantes aja beberapa hari ini gue nggak lihat lo bareng sama David. Kenapa?” Tandas Indy tanpa menghiraukan perkataan sahabatnya itu.
            “Gue bilang nggak apa---“
            “Gue tahu lo faker, Cit. Tapi gue nggak akan pernah jadi korban lo.”
            Citra tersentak lalu dengan nada tak terima ia menyergah, “Lo bilang gue penipu?”
            ”Lo harus cerita di jam makan siang nanti. Dan kali ini gue maksa! The faker of smile.”
            Citra membiarkan Indy melewatinya begitu saja untuk memasuki sebuah ruangan. Setelah cukup lama termangu, ia lalu membawa kakinya memasuki ruang yang sama.
***
“Jadi, untuk pertama kalinya David marah besar gara-gara kebiasaan buruk lo?”
            Citra mengangguk sembari memainkan es krimnya dengan gerakan tak selera.
            “Lagian lo kayak nggak punya barang lain aja.” Dengan dagunya Indy menunjuk dua buah buku di samping lengan Citra. “Nah itu di buku pasti ada uang, kan? Lo nggak mungkin nggak mampu beli dompet Cit!”
“Lo tahu kan kalau gue biasa misahin uang pas buat sesuatu biar nggak ribet bawa dompet.”
Mata Indy nyaris meloncat dari tempatnya. “Apa bedanya dengan lo bawa buku kemana-mana?”
“Lo kayak nggak tahu aja, Dy. Gue kan bisa sambil mempelajari pekerjaan gue dimana pun.” Citra menghela napas sejenak sebelum kemudian berkilah untuk menghindari hujatan dari Indy, “Lagian, bukan kebiasaan itu yang jadi duduk permasalahannya.”
            “Gue tahu. Tahu banget. Dan kenapa lo diem aja? Sampai kapan lo melihara racun dalam hubungan kalian?”
            Gerakan tangannya terhenti. Citra menyelipkan rambut hitamnya ke belakang telinga agar dapat menangkap wajah Indy lebih jelas.
            “Wow tenang, Cit,” tukas Indy cepat begitu menyadari raut tersinggung Citra. “Lo denger gue baik-baik ya,” sambil menegakkan posisi tubuh gadis itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di wajah bulatnya, seakan bersiap untuk mendeklarasikan sesuatu yang amat penting. Ia bahkan berdeham beberapa kali sebelum kemudian bertutur, “Lo itu sebenarnya bisa jadi manusia setengah salmon. Sayangnya, lo menutup mata dari kenyataan dan malah milih jadi koala kumal gara-gara cinta brontosaurus lo di masa lalu. Hingga akhirnya lo terpenjara di kandang kambing jantan dan akhirnya mati dimakan kakus. Dan kenapa David bisa semarah itu, menurut gue dia udah capek jadi marmut merah jambu yang terus berlari-lari di tempatnya. Tiga tahun coba, kurang sabar gimana dia ngadepin lo?”
            Citra benar-benar terpaku di tempatnya. Kali ini Citra mengangkat topi sebagai pernghargaan atas kecerewetan sahabatnya itu. Indy sukses menenggelamkannya ke dalam renungan yang diumpamakan dengan satu demi satu judul buku Raditya Dika itu. Sialnya, tiap lemparan analogi itu tepat mengenai ulu hatinya. Ia menyuap sesendok es krim untuk membasahi kerongkongannya yang seketika kemarau. “Lo lupa satu judul, Dy.” Timpalnya kemudian sambil memandang Indy yang tampak tengah menunggu reaksinya.
            Dahi Indy mengernyit tak mengerti. “Maksud lo?”
            “Babi Ngesotnya nggak ada.”
            Mata sipit di balik kacamatanya seketika melebar. “Ya ampun, Cit. Gue serius!” Di ujung kalimat ia mendelik sebal ke arah Citra. “Tapi gue masih belum percaya ini berantakan gara-gara dia.” Indy meraih novel Paulo Chelho yang sempat menjadi sasaran amarah David dan sesekali menggeleng saat menelitinya. “Dari sikapnya yang lembut, semua orang di redaksi ini tahu, kalau koordinator editor kita itu cinta mati sama salah satu editor yang berada di bawah koordinasinya. Dan gue berani bertaruh kalau mereka nggak akan langsung percaya kalau denger semua ini.”
            Citra meringis mendengar sindiran terang-terangan itu.
            “Cewek yang lebih milih cinta monyetnya di dalam fantasi dan mengabaikan sosok yang sudah jelas ada di sisi. Buat apa capek-capek gue ngejar cewek kayak gitu? If i were him, jelas gue akan pergi jauh-jauh dari lo. So far, gue salut sama David!”  Indy lalu menyesap jusnya dalam-dalam sambil menunggu reaksi sahabatnya di balik sedotan. Namun beberapa detik berlalu tanpa ada sedikit pun tanda Citra akan mengucapkan sesuatu. “Apa perlu gue ngingetin lo kalau kehadiran baru akan terasa saat dia sudah beranjak meninggalkan kita?”
            Serangan beruntun dari Indy membuat Citra tak mampu berkutik. Ia hanya mengangguk lemah tanpa menoleh.
            Indry mendesah pendek. Kini ia benar-benar berada di ujung gemas. Gadis itu lalu mensedekapkan kedua tangan dengan jemari yang mengetuk-ngetuk meja. Kemudian dengan nada sambil lalu Indy kembali berceloteh, “Lo itu translator andal, tapi payah menafsirkan perasaan lo sendiri. Kenapa lo ngebohongin diri sendiri sih, Cit?” Pancingan yang bagus! Karena sedetik setelahnya Indy mendapati Citra mendongak memandangnya.
            “Maksud lo?”
            Indy mengangkat bahu, tak langsung menjawab. Sesaat ia membiarkan sahabatnya itu memainkan pikirannya sendiri. “Gue tahu, lo sebenarnya cinta juga sama David. Kalau nggak, lo nggak mungkin sefrustrasi ini. Dan lebih sial lagi, sebenarnya lo sadar dengan perasaan lo, tapi lo memilih sibuk bergelung dengan radar dua-puluh-tujuh yang kekanakkan itu.” Setelah itu, Indy memandang Citra dengan mata penuh, untuk lagi-lagi menunggu reaksi yang akan dikeluarkan Citra.
            Dan benar saja, Citra terkesiap luar biasa seraya menukas, “Gue cuma---“
            “Gue bukan sasaran yang tepat buat tipuan lo.” Tandas Indy dengan begitu enteng. Ia sedang mengelap tepi bibir dan senyum sarkastis terukir begitu kentara di sana.
            Setelah itu, keheningan yang sukar diartikan membelenggu selama beberapa menit ke depan. Tanpa mereka sadari, sosok jangkung tepat di belakang Citra dan bersandar pada sandaran sofa yang sama, turut merekam lalu menyimpan semuanya di belakang kepala rapat-rapat.
            “Sori, Cit. Gue nggak mau jadi orang yang seolah bikin lo tenang dengan perkataan yang nggak jujur. Ini gunanya sahabat, kan?”
***
Ada yang salah dengan dirinya! Benar-benar ada yang salah pada David! Akhir-akhir ini konsentrasi David seolah sulit untuk dikumpulkan, semuanya selalu dengan mudah berberai begitu saja. Detik-detik saat tangan tak beradabnya menyerang seutas kertas hingga membuat mata cokelat di hadapannya basah terus membayang di kepala. Satu per satu percakapan Citra dan Indy tentang dua angka keparat itu terus menggema di telinganya. Semuanya terus-menerus menghantui David.
            Ah, David benar-benar tak habis pikir. Ternyata orang yang selama tiga tahun selalu membuatnya ciut di hadapan Citra adalah anak SMA! Coba ulangi sekali lagi? Ya, anak SMA! Lebih tepatnya, cinta-monyet!
            David harus melakukan sesuatu sekarang juga. Benar-benar sekarang dan tidak boleh ada kata nanti. Ia lalu meraih ponselnya, kedua ibu jarinya menari-nari di atas layar, tak lama kemudian benda mungil itu berdering. “Halo. Iya. Sepuluh menit lagi saya ke sana. Tolong. Oke, terima kasih.”
            Setelah telepon terputus David diam di tempat dengan gusar. Mata tajamnya tertuju pada layar ponsel, lalu pada jam digital di meja kerjanya, setelah itu beralih pada jam dinding di ambang pintu, begitu seterusnya. David menenggak air minumnya hingga ia bisa menghela napas panjang. Setelah semua nyali terkumpul, ia segera bergegas menuju ruangan yang terletak tepat di samping kiri ruangannya. Menghancurkan ego yang telah menyiksanya dalam penjara kesepian.
“Wah Dave, kebetulan lo ke sini. Gue mau tanya sedikit hal mengenai naskah ini nih.”
            “Dave, kamu udah terima hasil revisi naskah yang saya tangani kemarin, kan?”
            “Hai, Dave. Ada apa nih? Ada rapat mendadak?”
            Sementara, Citra duduk dengan perasaan gelisah di kursi. Suara serak yang –sialnya, sangat dirindukannya itu membuatnya kehilangan fokus. Sekuat tenaga ia menahan kepala agar tak menoleh pada sosok jangkung itu.
            David meringis mendapat serangan bertubi-tubi dari rekan-rekannya. Atas dasar profesionalisme, sesekali David berhenti untuk menanggapi mereka. Namun saat mereka terasa semakin menyebalkan, saat itu juga David mengangkat tangan seraya berseru, “Gue ke sini lagi nanti setelah makan siang. Sekarang gue ada urusan penting.” Lelaki di balik kemeja hitam dan dibalut rompi bermotif square itu mendekati sebuah meja di sudut ruangan. “Citra.”
            “Leader kita sedang ada rapat pribadi rupanya. Ayo kita makan siang saja.”
            Jantung Citra mencelos saat tangan kanannya tahu-tahu sudah berada dalam genggaman David. Lelaki itu menariknya keluar dan melesat ke dalam lift. “Mau ngapain kita ke sana?” Suara Citra kontan meluncur begitu menyadari angka lantai yang dituju David.
            David tak menjawab. Tatapannya lurus ke depan dengan rangkuman tangan yang semakin erat, seolah takut kehilangan gadis di sampingnya.
            Ada desir halus yang membelai hati Citra saat melihat dua tangan yang bertautan itu.
            Begitu lift terbuka, David menuntun Citra menaiki tangga menuju atap gedung. Kening Citra mengernyit ketika mendapati sebuah white board dan bangku panjang di sana. Ulu hatinya tertohok saat tulisan pada white board itu menerpa matanya. David dan Citra menduduki bangku tersebut. Keheningan cukup lama menyelimuti mereka di bawah terpaan sinar matahari yang cukup menyengat.
            “Dave,”
            “Aku berhutang maaf padamu.”
            Citra lantas menoleh dengan ekspresi tak mengerti. Bertanya tanpa berucap.
            “Atas sikap kasarku tempo hari.” David masih belum menatap Citra, namun dengan ekor matanya ia menangkap bibir mungil Citra bergerak tak kentara.
            Terdengar helaan napas panjang sebelum kemudian Citra berkata, “Apalagi aku, untuk tiga tahun ini.” Ada lega yang menjalar setelah kalimat itu meluncur ke udara.
            David menggerakkan kepalanya ke samping. “Citra.”
            Citra kembali menoleh dan tatapannya langsung dikunci oleh sorot tajam yang tertanam tepat di manik cokelatnya. Pesona yang seolah melubangi matanya itu membuat Citra tanpa sadar meneguk ludah.
            “Ceritakan padaku tentang radar dua-puluh-tujuhmu itu. Semuanya.” David harus bersusah payah menjaga lidahnya agar tidak mengucap keparat, terkutuk, atau apa pun tentang angka itu.
            Kalimat macam apakah itu? Sekadar perintah dari atasan kepada bawahankah? Atau bahkan sebuah bentuk permintaan? Ah –tidak, itu lebih terdengar seperti permohonan.
            “Oh?” Citra hanya bisa melongo dan berseru pendek. Masih terasa sulit menemukan suaranya kembali.
            “Apa tiga tahun belum cukup agar aku memiliki hak untuk mendengar semuanya?”
Ini benar-benar permohonan.
            Citra terdiam sejenak. Meredam nyeri yang tiba-tiba menyeruak ke permukaan. “Dia orang pertama yang mengenalkanku pada cinta, dan patah hati pertama, sekaligus terhebat.” Kata demi kata dari buku usang itu terus bergulir dari suara mungil Citra.
            David terbelalak. Sekarang ia melahap wajah cantik itu dengan mata yang semakin menyalang. “Dia itu cinta monyet. Tapi kamu masih saja---“
            “Itu karena dia yang pertama.”
            David memalingkan muka dengan gerakan tak sabar. Luar biasa tak habis pikir dengan gadis di sampingnya ini. Detik selanjutnya, hening kembali menari-nari bersama angin yang berembus. Setidaknya tak ada yang bersuara sampai David bangkit dan berdiri di samping white board. “Lihat dan dengarkan aku, Cit.” Sebelah tangan lelaki itu menggantung di pangkal white board. Sesekali ia mengusap peluh yang mulai mengalir di pelipisnya.
            Citra menengadah menatap David. Siap mendengar dengan saksama.
            Sialnya, David tak mampu menahan eskpresi geli karena gerakan patuh Citra.
            “Kenapa Dave?”
            David menggeleng. Lagi, ia menatap Citra. Namun kali ini dengan tatapan yang lembut seperti biasanya, seperti biasanya selama tiga tahun, bukan tatapan membunuh seperti akhir-akhir ini. Lelaki itu menggaruk-garuk kepala yang tak gatal, tampak salah tingkah dengan kalimat yang akan diucapkannya. “Jika kamu mengizinkan, aku akan jadi orang terakhir dan menutup semua luka itu.”
            Pernyataan mendadak dari David menabuh jantungnya dengan sangat keras. Tatapannya masih terarah pada David yang tampak hendak meneruskan ucapannya.
            “Tapi kalau kamu lebih milih yang pertama, sekarang juga aku mundur. Sori, Cit. Aku bukan cowok dalam novel yang pasti bersedia nunggu sampai kapan pun. Itu terlalu gila dan aku hanya mencoba berpikir rasional.”
            Jantungnya sukses meloncat dari atap itu. Citra tertunduk lesu di tempatnya. Gambar abu-abu yang selalu menyalip segalanya kembali membayang di pelupuk mata.
            “Ini.”
            Citra mendongak begitu David tahu-tahu menjulang di hadapannya. Lelaki itu mengangsurkan sebatang board marker padanya.
“Kalau kamu mau, lanjutkan angka dua-puluh-tujuh di sana. Tapi kalau sebaliknya, kamu bisa pergi sekarang. Tenang aja, aku nggak mungkin nekat lompat dari atas sini.”
Citra meneliti benda di tangan David, kemudian bersitatap dengan David yang tersenyum kering padanya, lalu beralih pada deretan angka yang berhenti di dua-puluh-tujuh. Dilema kini menyesaki rongga kepala dan memenati benak. Pilihan macam apa ini?
Cukup lama David bertahan di posisinya. Sampai kemudian ia terkesiap saat Citra berdiri. Gadis itu mendekati white board tanpa menerima board marker di tangannya. Ia baru akan mengutuk suasana keparat ini sebelum akhirnya terdengar suara Citra.
“Kok nggak bisa dihapus, Dave? Ini permanen?”
Seketika David berbalik menghampiri Citra. “Kamu mau ngapain?”  Tidak tahukah Citra kalau irama jantungnya bergemuruh luar biasa saat ini?
“Aku mau hapus angka toksin ini.”
Tanpa sadar David meluruhkan pundaknya. Pernyataan Citra sepertinya adalah pertanda baik, setidaknya. Tidak ada salahnya bermimpi, kan? “Aku nggak minta itu. Halaman terus berlanjut dan nggak berhenti di dua-puluh-tujuh. Aku selalu bilang itu, kan?” David menjeda sesaat untuk melangkah mendekati Citra, “Aku mau kamu melanjutkan perjalanan ke halaman seterusnya, denganku.”
Kalimat panjang lebar itu membuat Citra terpana. Batinnya bergejolak. Antara membuka halaman baru atau tetap diam dengan kenyamanan lamanya. Citra pasti sangat bodoh jika membawa pilihan terakhir yang baru saja disebut! Sampai kapan ia akan bergelung dengan imajinasi yang jelas sangat menyiksa?
Tensi matahari semakin meninggi. Sang surya seolah turut berdebar menunggu reaksi selanjutnya dari Citra. David tak henti-hentinya mengumpat degup jantung yang tak bersikap koperatif. Sial! Sekarang David melihat tangan Citra yang bergerak ragu ke arahnya. Berikutnya ia merasakan benda itu sudah tak terasa di tangannya. Ah, waktu yang terasa lamban benar-benar mengoyak dirinya!
Citra membuka tutup board marker itu. Ia menggigit bibir kuat-kuat. Meredam banyak emosi yang bisa saja mengubah keputusannya. Lalu jemari kecilnya menari dengan board marker di sana.
26, 27, 28, 29, 30,
            Gerakan tangannya terhenti. Ia berbalik pada David yang terpaku di belakangnya. “Kenapa diam? Kamu bilang aku akan meneruskannya denganmu.”
            David sukses melongo. Ia tersenyum lebar sambil menghela napas lega. Tanpa ragu lagi ia meraih board marker itu, meliuk-liuk di permukaan white board bersama telapak tangan Citra yang juga berada dalam genggamannya. Tangan yang takkan pernah ia lepaskan lagi, demi apa pun. “Nanti malam aku akan ke rumahmu dengan orangtuaku.”
            “Mau ngapain?” Citra sukses melongo. Ia mendongak pada David yang berdiri di belakangnya. Otomatis gerakan tangan mereka ikut terhenti.
            “Aku sudah bilang kan, aku akan jadi yang terakhir.” Tanpa berani menatap seraut wajah bingung itu, David menjawab dengan nada berapi-api.
            “Oh? Apa itu semacam....” Citra tak meneruskan. Terlalu tak percaya untuk menyuarakan kata terakhir yang melintas di otaknya.
            David mengusap puncak kepala Citra dengan tangannya yang bebas. “Bersiap-siaplah.”
            Citra merasakan pipinya memanas. Bukan, bukan karena cahaya matahari yang memantul di sana. Tapi karena semburat merah yang kini menyelimuti wajahnya. “Apa kamu akan marah seperti kemarin lagi kalau kebiasaanku---“
            “Sebenarnya bukan itu yang membuatku kesal. Hanya saja aku selalu merasa ciut bahkan tak terdefinisi kalau kamu sudah berhadapan dengan dua-puluh-tujuh kep....” David kontan membungkam mulutnya, membiarkan ujung suaranya tercekat di tenggorokan.
            “Aku minta maaf.”
            “Aku bosan mendengarnya.”
            “Jadi kamu nggak mau maafin aku?”
            “Aku selalu memaafkanmu. Jadi, berhentilah mengucapkan kata serupa.”




THE END


Biarkan aku sejenak mengambil napas. Take a deep breath. Hold on. And then let it out.
            
            Kenapa judulnya Dua-Puluh-Tujuh? Untuk mematahkan asumsi apa pun yang bisa saja timbul, aku tegaskan ini hanya karangan, khayalan dan fiktif belaka. Terlepas dari dua-puluh-tujuh yang juga menjadi judul utama blog ini, aku menggunakan angka itu sebagai fokus utama cerita dengan tujuan untuk menjadikannya sebagai salah satu penopang alur semata. Inspirasi bisa muncul dalam bentuk apa saja, kan? Hehehe.
            Kemudian aku juga minta maaf jika ada yang tidak berkenan dengan petikan analogi judul-judul buku Raditya Dika yang dikolaborasikan menjadi satu perumpamaan di atas. Itu sudah mengawang di kepala sejak lama, tapi baru aku tuangkan dalam tulisan ini. Kalian bisa membuat analoginya dalam versi masing-masing hehehe. Babi Ngesot nggak aku masukin, soalnya emang itu satu-satunya buku Bang Radit yang belum aku baca, jadi nggak tahu gambaran analoginya kayak gimana. Kalau ada yang berkenan meminjamkan, aku terima dengan senang hati :V
            Dan mengenai mekanisme kerja editor dengan naskah-naskahnya, persisnya di lapangan aku belum tahu. Beberapa tahun ke depan aku kasih tahu deh, setelah aku jadi editor sungguhan hihihi :3 Aku buat sedemikian rupa karena pengalaman naskahku sih. Naskah pertama yang sekarang alhamdulillaah sedang dalam proses edit, awalnya diterima oleh editor bernama A, nah kemudian editor A itu mendelegasikan naskahku kepada editor bernama B. Dari pengalaman itu aku mengais kesimpulan sambil tepatnya membayangkan, mungkin saja ada koordinator editor yang menunjuk naskah-naskah tertentu pada editor yang mungkin lebih cocok dengan kepribadian naskah itu (?) hehehe.



           
            Akhirul kalam, terima kasih sudah menyempatkan membaca tulisan sederhana ini.
            Maaf jika ada salah-salah kata atau bagian yang tidak berkenan di hati.
           Sangat terbuka menerima kritik dan saran atau apa pun itu yang kalian rasakan setelah membaca postingan ini.

            Terima kasih^o^

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[TASK] Proposal Usaha (Kewirausahaan)

Ini tugas bikin proposal waktu kelas sebelas hihi :3 Gak tau bener gak tau nggak soalnya dulu gak sempet direview sama gurunya -,- Disusun oleh: Asti Nurhayati Sri Isdianti Kelas XI-AP4 SMK Negeri 1 Garut 2012-2013 BAB 1 PENDAHULUAN A. Nama dan Alamat Perusahaan Toko Buku   “27 RADAR” Jl.   Radar   No. 27 Garut B. Nama dan Alamat Penanggung Jawab Usaha Ø     Penanggung jawab 1: Nama : Asti Nurhayati Nurjaman   TTL : Garut, 19 Agustus 1996   Ø      Penanggung jawab 2: Nama : Sri Isdianti TTL : Garut, 12 September 1996   C. Informasi Usaha          Usaha toko buku yang kami kelola ini berada di Jl.   Radar   No. 27, merupakan lokasi yang sangat strategis yang berada di pusat kota Garut ini, bisa dengan mudah dijangkau oleh kendaraan apapun. Juga terletak di antara banyaknya pusat perkantoran serta sekolah-sekolah sehingga menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi kami karena berdekatan dengan banyak

[BOOK REVIEW] Sejarah Ekonomi Dalam Islam

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Judul: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Penulis:DR. Euis Amalia, M.Ag Penerbit: Gramata Publishing Tebal Buku: xiv + 322 halaman ISBN: 978-602-96565-1-0 Harga: Rp. 69.000,- Sumber gambar: goodreads Ada kesenjangan epistemologi yang mengemuka lebar tatkala ingin menampilkan literatur sejarah pemikiran ekonomi. Nilai fairness dan transparansi seolah sulit untuk dibuka ketika dihadapkan pada siapa menemukan apa karena bermuara pada “otoritas klaim.” Fakta-fakta ironis menyebutkan bahwa seringkali hasil karya ilmuwan muslim kita diabaikan oleh sarjana barat, padahal mereka sendiri secara implisist mengakui banyak karyanya telah diilhami oleh  pemikir Islam atau karya mereka tidak pure lagi karena sebelumnya sudah diketemukan teori oleh sarjana muslim. Hanya bisa dihitung dengan jari penulis-penulis barat yang mengakui bahwa konsep-konsep atau teorinya berasal dari pemikir Islam. Secara simplistis saja,

[BOOK REVIEW] Rasa. Pendam atau Ungkapkan?

Judul: Pertemuan Jingga Penulis: Arumi E Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Tebal: 250 halaman Harga: Rp56.500,- Rilis: Desember 2014 ISBN: 978-602-03-1194-4 Perempuan pencinta bangunan dan laki-laki pencinta tumbuhan Bertemu kala matahari berubah jingga menawan Di Bukit Merah tempat cabai disemai Tersimpan misteri yang mengusik damai Bukit Merah. Begitulah mereka menyebut area pertanian cabai di Megamedung itu. Anthea, arsitek junior yang bekerja di kantor konsultan desain, tiba-tiba harus menjadi pengawas lapangan pertanian –tugas yang bertolak belakang dengan keahliannya. Awalnya ia meremehkan tempat yang jauh dari keramaian kota dan memaksanya bekerja dengan orang-orang desa itu. Namun kala misteri dan masalah pelik datang silih berganti, Anthea tahu tugasnya tak bisa dianggap enteng. Beruntung ia tak harus berjuang sendirian. Bastian si pencinta tumbuhan, sosok menawan yang sering mengajaknya berdebat selalu menemukan jalan untuk menjadi dewa